Selamat Datang di Blog Mau Pintar

SELAMAT DATANG DI BLOG SEDERHANAKU

Senin, 16 Juni 2014

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN

ASUHAN KEPERAWATAN
DENGAN PENYAKIT TETANUS


Oleh Kelompok :

1.    SUMARNI A. KASIM
2.    SUMIATI LONGSO
3.    YOSEBA M. BAKAPOLE
4.    YUSRI DOPONG
5.    WELMINA LANBILA
6.    TINCE H. MAILAU

SMK N 04 KALABAHI
2013
KATA PENGANTAR


          Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul :
“Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Penyakit Tetanus”
Dalam penulisan makalah ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada :
1.    Tuhan Yang Maha Kuasa
2.    Semua pihak yang telah membantu terhadap kelancaran dan penyelesaian makalah ini.
Penulis telah berupaya seoptimal mungkin untuk dapat menyelesaikan makalah dengan sebaik-baiknya.Namun penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembelajaran ilmu keperawatan khususnya, dan pendidikan pada umumnya.


Kalabahi, September 2013


Penulis


Daftar Isi

    Hal   
Halaman Judul         i
Kata Pengantar         ii
Daftar Isi         iii

BAB I PENDAHULUAN         1
1.1.    Latar Belakang         1
1.1.1.    Gambaran Kasus         1
1.1.2.    Data- Data Kasus        2
1.1.3.    Fenomena        2
1.2.    Tujuan Penulisan         4
1.2.1.    Tujuan Umum         4
1.2.2.    Tujuan Khusus         4

BAB II PEMBAHASAN         5
2.1.    Definisi         5
2.2.    Manifestasi Klinik         5
2.3.    Etiologi         6
2.4.    Patofisiologi         7
2.5.    Penatalaksanaan Medis         7
2.6.    Penatalaksanaan Keperawatan         8
2.7.    Komplikasi Tetanus         16
2.8.    Asuhan Keperawatan Anak Dengan Tetanus         17

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN         18
3.1    Kesimpulan         18
3.2    Saran         18


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.    Latar Belakang
Penyakit tetanus kebanyakan terdapat pada anak-anak yang belum pernah mendapatkan imunasi tetanus (DPT). Dan pada umumnya terdapat pada anak dari keluarga yang belum mengerti pentingnya imunasi dan pemeliharaan kesehatan, seperti kebersihan lingkungan dan perorangan.
Penyebab penyakit seperti pada tetanus neonatorum, yaitu Clostridium tetani yang hidup anaerob, berbentuk spora selama di luar tubuh manusia, tersebut luas di tanah. Juga terdapat di tempat yang kotor, besi berkarat sampai pada tusuk sate bekas. Basil ini bila kondisinya baik ( didalam tubuh manusia ) akan mengeluarkan toksin. Toksin ini dapat menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit dan merupakan tetanospasmi, yaitu neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot.
1.1.1.    Gambaran Kasus
Tetanus adalah salah satu penyakit yang paling beresiko menyebabkan kematian bayi baru lahir. Tetanus yang menyerang bayi usia di bawah satu bulan, dikenal dengan istilah tetanus neonatorum yang disebabkan oleh basil Clostridium Tetani. Penyakit ini menular dan menyebabkan resiko kematian sangat tinggi. Bisa dikatakan, seratus persen bayi yang lahir terkena tetanus akan mengalami kematian.
Di negara maju, kasus tetanus jarang ditemui. Karena penyakit ini terkait erat dengan masalah sanitasi dan kebersihan selama proses kelahiran. Kasus tetanus memang banyak dijumpai di sejumlah negara tropis dan negara yang masih memiliki kondisi kesehatan rendah. Lihat saja data organisasi kesehatan dunia (WHO) yang menunjukkan, kematian akibat tetanus di negara berkembang adalah 135 kali lebih tinggi dibandingkan negara maju.
Dari sejumlah kasus, tetanus pada bayi baru lahir memiliki angka yang sangat signifikan. Pada umumnya kasus itu, penggunaan gunting yang kotor dan berkarat oleh para bidan atau dukun bayi saat memotong tali pusar bayi adalah penyebabnya. Bayangkan, 60 persen persalinan di Indonesia masih dilakukan oleh dukun bayi yang tidak terlatih.
Tetanus bisa dicegah dengan pemberian vaksin lewat imunisasi pada perempuan usia subur. Jika pemberian vaksin dilakukan saat luka tetanus sudah muncul, akan sia-sia. Penyakit lain yang dapat dicegah dengan imunisasi adalah TBC, Diptheri, Pertusis, Polio, Campak dan Hepatitis B. Pemberian imunisasi tetanus toxoid (TT) untuk perempuan usia subur adalah bentuk dari upaya meminimalkan angka kematian bayi yang disebabkan tetanus itu.
1.1.2.    Data-data kasus
1.1.3.    Fenomena
Tetanus Neonatorum, penyebab utama kematian bayi di Indonesia Lantaran mengidap tetanus, sekitar 9,8 persen dari 184 ribu kelahiran bayi di Indonesia menghadapi kematian. Pada 1980-an, tetanus bahkan menjadi penyebab pertama kematian bayi di bawah usia satu bulan. Walau pada 1995 kasus serangan tetanus sudah menurun, tapi ancaman itu tetap ada, sehingga perlu diatasi secara serius.
Sejak 1989, WHO memang mentargetkan eliminasi tetanus neonatorum. Sebanyak 104 dari 161 negara berkembang telah mencapai keberhasilan itu. Tapi, karena tetanus neonatorum masih merupakan persoalan signifikan di 57 negara berkembang lain, UNICEF, WHO dan UNFPA pada Desember 1999 setuju mengulur eliminasi hingga 2005. Target eliminasi tetanus neonatorum adalah satu kasus per seribu kelahiran di masing-masing wilayah dari setiap negara.
Selain tetanus neonatorum, maternal tetanus juga ditambahkan sebagai tujuan eliminasi. Hal ini untuk menegaskan, tetanus bukan hanya mengancam nyawa bayi tapi juga ibu. Karena eliminasi maternal tetanus tidak didefinisikan, keberhasilan eliminasi tetanus neonatorum digunakan sebagai gambaran untuk eliminasi tetanus maternal.
Jelas, diperlukan waktu lebih panjang dan strategi khusus bagi sejumlah negara yang belum bisa mengatasi masalah tetanus neonatorum. Sejak 1996, di Indonesia telah diberikan vaksin TT terhadap perempuan usia subur sebanyak tiga kali dosis. Tiga dosis itu akan memberikan ketahanan selama sepuluh tahun.
Untuk proyek eliminasi tetanus neonatorum sendiri, Indonesia mendapat bantuan dari sejumlah lembaga donor seperti JICA (Japan International Cooperation Agency), USAID (US Agency for International Development) dan KFW (Kreditanstalt Fur Wiederaufbu). Selama 1999-2000, Indonesia mendapat bantuan 22 juta autodisable syringe (alat suntik sekali pakai) dari lembaga donor itu.
Pemerintah Jepang juga memberikan bantuan sebesar Rp. 11,2 miliar kepada pemerintah Indonesia untuk mencegah tetanus neonatorum. Bantuan itu berupa 736.540 vial vaksin tetanus toxoid, 5.891.800 autodisable syringe dan 59 ribu disposable box untuk program imunisasi TT bagi 2.945.900 perempuan usia subur di 12 provinsi: Sumatera Utara, Riau, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Pemberian imunisasi TT dilakukan secara gratis, baik di rumah sakit maupun puskesmas. Jika ditarik bayaran, biasanya hanya merupakan biaya retribusi rumah sakit atau memang ulah oknum.
Pada Februari 2000, JICA juga memberikan bantuan logistik berupa 14,5 juta autodisable syringe senilai Rp 15,4 miliar untuk imunisasi campak bagi enam juta anak SD di Jakarta dan Jawa Barat, serta imunisasi TT kepada delapan juta perempuan usia subur di 22 provinsi. Walau demikian, bantuan itu tentunya hanya sebatas logistik. Dana operasional tetap harus dikeluarkan pemerintah daerah bersangkutan. Pemerintah pusatpun tidak mempunyai alokasi dana bantuan untuk itu.
D P T
Walau vaksin seperti DPwT untuk penanggulangan Difteria, Pertusis, dan Tetanus (DPT) cukup ampuh, tapi masih ada beberapa hambatan dalam pemberian vaksin ini yaitu efek samping sebagai gejala ikutan setelah pemberian vaksin DPwT seperti demam, bengkak dan nyeri di sekitar suntikan. Hal ini disebabkan karena salah satu komponen dari vaksin ini yaitu komponen untuk pertusis merupakan sel yang utuh.
Pada tahun 1974 di Jepang, vaksin DPwT ini untuk sementara dihentikan karena adanya beberapa kasus yang menyebabkan kematian. Perkembangan teknologi yang demikian cepat dan canggih mendorong para ahli untuk terus berusaha mengembangkan jenis vaksin DPT baru yang sama khasiatnya dengan vaksin yang telah ada namun tidak menimbulkan efek samping yang merugikan seperti diatas. Pada awal 1980 para ahli Jepang memperkenalkan vaksin DPT dengan komponen pertusis asellular (bukan sel utuh) yang bisa mengatasi permasalah tersebut diatas.
Penggunaan vaksin DPaT secara luas dimulai pada 1994 di Jerman, dimana GlaxoSmithKline sebagai perusahan farmasi terdepan dalam penelitian dan pengembangan vaksin yang pertama kali meluncurkan vaksin DPaT dengan merek dagang Infantrix. Menurut dr. Fransiscus Chandra, Direktur Medikal GSK , kami menyadari bahwa salah satu faktor penting bagi suksesnya program imunisasi nasional adalah dengan meningkatkan pengertian orang tua akan pentingnya vaksinasi DPT dengan pemberian vaksin yang paling memberikan rasa nyaman atau efek samping yang paling minimal bagi bayi.
Aselular pertusis yang terdapat dalam Infanrix terbentuk dari tiga komponen, yakni toksoid pertusis, filamentous haemagglutinin (FHA), dan pertactin (PRN). Selain Aselular pertusis, dalam Infanrix juga terdapat garam aluminium sebagai adjuvants (penguat), dan 2-phenoxyethanol sebagai pengawet. Dalam setiap 0,5 ml (1 dosis), vaksin ini terdiri dari >30 IU toksoid difteri, >40 IU toksoid tetanus, 25 mcg toksoid pertusis, 25 mcg FHA, dan 8 mcg PRN.
Vaksin DPaT juga sangat bermanfaat untuk anak dengan riwayat kejang, demam dan kelainan syaraf. Bahkan, jenis vaksin baru ini juga tidak menyebabkan demam yang dapat memprovokasi terjadinya kejang.
1.2.    Tujuan
1.2.1.    Tujuan Umum
Yaitu, agar Mahasiswa/i memahami tentang “ penyakit tetanus pada anak
1.2.2.    Tujuan Khusus
Yaitu, agar Mahasiswa/i mengetahui dan memahami tentang :
1.  Definisi tetanus
2.  Etiologi
3. Tanda dan Gejala
4.  Patofisiologi
5. Penatalaksanaan Medis
6.  Komplikasi
7. Pencegahan
8. Danpak hospitalisasi
9. Ansuhan Keperawatan
BAB II
PEMBAHASAN


2.1.    Definisi
Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan gangguan neuromuscular akut berupa trismus, kekakuan dan kejng otot disebabkan oleh eksotoksin spesifik dari kuman anaerob clostridium tetani (R. Sjamsuhidayat, 1997).
Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman clostridium tetani, bermanifestasi sebagai kejang otot proksimal diikuti kekakuan otot seluruh badan (Arjatmo, 1996).
Tetanus adalah penyakit toksemia akut yang disebabkan oleh Cl. Tetani (Mansjoer, 2000).
Tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman clostiridium tetani yang dimanefestasikan dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu nampak pada otot masester dan otot rangka.

2.2.    Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus sampai kejang yang hebat. Masa timbulnya gejala awal tetanus sampai kejang disebut awitan penyakit, yang berpengaruh terhadap prognostik.
A.    Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu:
a.    Tetanus local
Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan dengan angka kematian sekitar 1%. Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal luka. Tetanus lokal dapat berkembang menjadi tetanus umum.
b.     Tetanus sefal
Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2 hari, yang disebabkan oleh luka pada daerah kepala atau otitis media kronis. Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek.
c.    Tetanus umum
Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Gejala klinis dapat berupa berupa trismus, iritable, kekakuan leher, susah menelan, kekakuan dada dan perut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta ekstensi tungkai, rasa sakit dan kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik.
d.    Tetanus neonatorum
Tanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat, umumnya karena tehnik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang tidak mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul adalah ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan spasme. Posisi tubuh klasik : trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan opisthotonus yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki. Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi dan kegagalan jantung paru.

B.    Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Ablett’s :
a.    Derajat I (ringan)
Trismus ringan sampai sedang, kekakuan umum, spasme tidak ada, disfagia tidak ada atau ringan, tidak ada gangguan respirasi.
b.    Derajat II (sedang)
Trismus sedang dan kekakuan jelas, spasme hanya sebentar, takipneu dan disfagia ringan.
c.    Derajat III (berat).
Trismus berat, otot spastis, spasme spontan, takipneu, apnoeic spell, disfagia berat, takikardia dan peningkatan aktivitas sistem otonomi
d.    Derajat IV (sangat berat).
Derajat III disertai gangguan otonomik yang berat meliputi sistem kardiovaskuler, yaitu hipertensi berat dan takikardi atau hipotensi dan bradikardi, hipertensi berat atau hipotensi berat. Hipotensi tidak berhubungan dengan sepsis, hipovolemia atau penyebab iatrogenik.
Bila pembagian derajat tetanus terdiri dari ringan, sedang dan berat, maka derajat tetanus berat meliputi derajat III dan IV.

2.3.    Etiologi
Infeksi tetanus disebabkan oleh clostridium tetani yang bersifat murni. Kuman ini mudah dikenal karena berbentuk spora dan karena bentuk yang khas. Ujung sel menyerupai tongkat pemukul genderang atau rekek squash.
Spora Cl. Tetani dapat bertahan bertahun-tahun bila tidak kena sinar matahari. Spora ini terdapat di tanah atau di debu. Tahan terhadap antiseptic, pemanasan 100 °C, dan bahkan pada otoklaf 120 °C selama 15-20 menit. Dari berbagai study yang berbeda spora ini tidak jarang ditemukan pada feses manusia, juga pada feses kuda, anjing dan kucing. Toksin diproduksi oleh bentuk vegetatifnya.
Clostiridium tetani adalah kuman yang berbentuk batang seperti penabuh genderang berspora, golongan gram positif, hidup anaerob. Kuman ini mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik (tetanus spasmin), yang mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat. Timbulnya teteanus ini terutama oleh clostiridium tetani yang didukung oleh adanya luka yang dalam dengan perawatan yang salah.

2.4.    Patofisiologi
Penyakit tetanus terjadi karena adanya luka pada tubuh seperti luka tertusuk paku, pecahan kaca, atau kaleng, luka tembak, luka bakar, luka yang kototr dan pada bayi dapat melalui tali pusat. Organisme multipel membentuk 2 toksin yaitu tetanuspasmin yang merupakan toksin kuat dan atau neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot, dan mempngaruhi sistem saraf pusat. Eksotoksin yang dihasilkan akan mencapai pada sistem saraf pusat dengan melewati akson neuron atau sistem vaskuler. Kuman ini menjadi terikat pada satu saraf atau jaringan saraf dan tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik. Namun toksin yang bebas dalam peredaran darah sangat mudah dinetralkan oleh aritititoksin. Hipotesa cara absorbsi dan bekerjanya toksin adalah pertama toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui aksis silindrik dibawah ke korno anterior susunan saraf pusat. Kedua, toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk ke dalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk ke dalam susunan saraf pusat. Toksin bereaksi pada myoneural junction yang menghasilkan otot-otot menjadi kejang dan mudah sekali terangsang. Masa inkubasi 2 hari sampai 2 bulan dan rata-rata 10 hari .
Cara kerja toksin
Toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui sumbu limbik masuk ke sirkulasi darah dan masuk ke Susunan Saraf Pusat (SSP). Toksin bersifak antigen , sangat mudah diikat jaringan syaraf dan bila dalam keadaan terikat tidak dapat lagi dinetralkan oleh toksin spesifik. Toksin yang bebas dalam darah sangat mudah dinetrakan oleh antitoksin spesifik.

2.5.    Penatalaksanaan Medis
A.    Pengobatan yang diberikan :
1.    Pengobatan spesifik dengan ATS 20.000 U / hari selama 2 hari berturut-turut secara intramuskular dengan didahului oleh uji kulit dan mata. Bila hasilnya positif, pemberian dilakukan secara Besredka (pemberian ATS sekarang dapat dimasukkan di didalam cairan infus dengan dosis 40.000 U sekaligus.
2.     Antikonvulsan dan penenang.
3.    Diazepam dengan dosis 4 mg / kg BB / hari, dibagi 6 dosis bila perlu IV dalam 304 dosis secara per-rektal.
4.    Penisilin Prokain 50.000 U / kg BB / hari intramuskular diberikan sampai 3 hari demam turun.
5.    Diet harus cukup kalori dan protein. Bentuk makanan tergantung kemampuan anak membuka mulutnya dan menelan. Jika terdapat trismus diberikan makanan cair melalui sonde lambung. Bila perlu diberikan secara parenteral.
6.    Isolasi untuk menghindari rangsngan (suara atau kesibukan).
7.    Bila perlu diberikan oksigen dan kadang-kadang diperlukan tindakan trakiostomi untuk menghindari obstruksi jalan napas.
B.    Pasien dianjurkan dirawat di Unit Perawatan Khusus jika :
1.    Kejang-kejang yang sukar diatasi dngan obat-obatan antikonvulsan biasa.
2.    Spasme laring.
3.    Komplikasi yang memerlukan perawatan khusus seperti sumbatan jalan napas, kegagalan pernapasan, hipertensi dan sebagainya.
2.6.    Penatalaksanaan Keperawatan
2.6.1.    Pengkajian
•    Pengumpulan Data
Anamnesa
      Identitas
Nama            :    
Umur                :
Jenis kelamin        :
Agama            :
Pendidikan            :
Pekerjaan            :
Suku/Bangsa        :
Tanggal Masuk        :
Tanggal Pengkajian    :
No Medrek            :
    Penanggung jawab
Nama            :
Usia                :
Alamat            :
Pekerjaan            :
Pendidikan            :
Agama            :

1.    Keluhan Utama
     Adanya luka parah atau luka bakar dan imunisasi yang tidak adekuat.
2.    Riwayat penyakit sekarang
a)    Riwayat penyakit yang diderita sekarang tanpa kejang ditanyakan :
1)    Apakah disertai demam ?
Dengan mengetahui ada tidaknya demam yang menyertai kejang, maka diketahui apakah infeksi infeksi memegang peranan dalam terjadinya bangkitan kejang. Jarak antara timbulnya kejang dengan demam..



2)    Lama serangan
Seorang ibu yang anaknya mengalami kejang merasakan waktu berlangsung lama. Lama bangkitan kejang kita dapat mengetahui kemungkinan respon terhadap prognosa dan pengobatan.
3)    Pola serangan
•    Perlu diusahakan agar diperoleh gambaran lengkap mengenai pola serangan apakah bersifat umum, fokal, tonik, klonik ?
•    Apakah serangan berupa kontraksi sejenak tanpa hilang kesadaran seperti epilepsi mioklonik ?
•    Apakah serangan berupa tonus otot hilang sejenak disertai gangguan kesadaran seperti epilepsi akinetik ?
•    Apakah serangan dengan kepala dan tubuh mengadakan flexi sementara tangan naik sepanjang kepala, seperti pada spasme infantile ?Pada kejang demam sederhana kejang ini bersifat umum.
4)    Frekuensi serangan
Apakah penderita mengalami kejang sebelumnya, umur berapa kejang terjadi untuk pertama kali, dan berapa frekuensi kejang per tahun. Prognosa makin kurang baik apabila kejang timbul pertama kali pada umur muda dan bangkitan kejang sering timbul.
5)    Keadaan sebelum, selama dan sesudah serangan
Sebelum kejang perlu ditanyakan adakah rangsangan tertentu yang dapat menimbulkan kejang, misalnya lapar, lelah, muntah, sakit kepala dan lain-lain. Dimana kejang dimulai dan bagaimana menjalarnya. Sesudah kejang perlu ditanyakan apakah penderita segera sadar, tertidur, kesadaran menurun, ada paralise, dan sebagainya ?
b)    Riwayat penyakit sekarang yang menyertai kejang :
Apakah muntah, diare, truma kepala, gagap bicara (khususnya pada penderita epilepsi), gagal ginjal, kelainan jantung, DHF, ISPA, OMA, Morbili dan lain-lain.
3.    Riwayat penyakit dahulu
a)    Sebelum penderita mengalami serangan kejang ini ditanyakan apakah penderita pernah mengalami kejang sebelumnya, umur berapa saat kejang terjadi untuk pertama kali ?
b)    Apakah ada riwayat trauma kepala, luka tusuk, lukakotor, adanya benda asing dalam luka yang menyembuh , otitis media, dan cairies gigi, menunjang berkembang biaknya kuman yang menghasilkan endotoksin.
4.    Riwayat penyakit keluarga
Kebiasaan perawatan luka dengan menggunakan bahan yang kurang aseptik.
       Ket :
                        Meninggal
                         Pasien

5.    Riwayat Tumbuh Kembang
a)        Riwayat Pertumbuhan
b)        Riwayat Perkembangan

6.    Riwayat Imunisasi
7.    Riwayat Nutrisi
a)    Untuk mengetahui asupan kebutuhan gizi  Ditanyakan bagaimana kualitas dan kuantitas dari makanan yang dikonsumsi oleh klien ?
b)    Makanan apa saja yang disukai dan yang tidak ? Bagaimana selera makan anak ? Berapa kali minum, jenis dan jumlahnya per hari ?

A.    Pemeriksaan Persistem
    Sistem Pernafasan
Dyspneu asfiksia dan sianosis akibat kontaksi otot pernafasan.
    Sistem kardio vaskuler.
Disritmia, takikardia, hipertensi dan perdarahan, suhu tubuh awal 38-40 C atau febril, terminal 43-44 C.
    Sistem Neurolgis.
(awal) irritability, kelemahan, (akhir) konvulsi, kelumpuhan satu atau beberapa saraf otak.
    Sistem perkemihan.
Retensi urine (distensi kandung kencing dan urine out put tidak ada/oliguria)
    Sistem pencernaan.
Konstipasi akibat tidak adanya pergerakan usus.
    Sistem integumen dan muskuloskletal.
Nyeri kesemutan tempat luka, berkeringan (hiperhidrasi). Pada awalnya didahului trismus, spasme oto muka dengan meningkatnya kontraksi alis mata, risus sardonicus, otot-otot kaku dan kesulitan menelan. Apabila hal ini berlanjut akan terjadi status konvulsi dan kejang umum.
Setelah dianalisa dari data yang ada maka timbul beberapa masalah keperawatan atau masalah kolaboratif anatara lain:
1.    Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sputum pada trakea dan spame otot pernafasan.
2.    Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot pernafasan.
3.    Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efeks toksin (bakterimia).
4.    Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot pengunyah.
5.    Hubungan interpersonal terganggu berhubungan dengan kesulitan bicara.
6.    Gangguan pemenuhan kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan kondisi lemah dan sering kejang.
7.    Risiko terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan intake yang kurang dan oliguria.
8.    Risiko terjadi cedera berhubungan dengan sering kejang.
9.    Kurangnya pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakit tetanus dan penanggulangannya berhbungan dengan kurangnya informasi.
10.    Kurangnya kebutuhan istirahat berhubungan dengan seringnya kejang.
    Data penunjang
o    Lab darah : tidak spesifik, mungkin leukositosis ringan, serum CK  agak meningkat.
o    Pada pemeriksaaan bakteriologik ditemukan clostridium tetani.
o    Rekam EMG : hilangnya periode diam pada 50-100 ms setelah kontraksi reflek.
Tergantung sarana yang tersedia dimana pasien dirawat, pemeriksaannya meliputi :
o    Darah
Glukosa Darah       :  Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang  (N < 200 mq/dl)
BUN                        :   Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan   merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
Elektrolit                  :   K, Na
Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )
Natrium ( N 135 – 144 meq/dl )

o    Skull Ray    : Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi
o    EEG         :  Teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh untuk mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil biasanya normal.

B.    Diagnos Keperawatan.
1.      Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sputum pada trakea dan spame otot pernafasan, ditandai dengan ronchi, sianosis, dyspneu, batuk tidak efektif disertai dengan sputum dan atau lendir, hasil pemeriksaan lab, Analisa Gasa Darah abnormal (Asidosis Respiratorik).
2.      Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot pernafasan, yang ditandai dengan kejang rangsanng, kontraksi otot-otot pernafasan, adanya lendir dan sekret yang menumpuk.
3.    Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efeks toksin (bakterimia) yang dditandai dengan suhu tubuh 38-40 oC, hiperhidrasi, sel darah putih lebih dari 10.000 /mm3
4.      Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot pengunyah yang ditandai dengan intake kurang, makan dan minuman yang masuk lewat mulut kembali lagi dapat melalui hidung dan berat badan menurun ddiserta hasil pemeriksaan protein atau albumin kurang dari 3,5 mg%.

C.    Intervensi Dignosa
1.    Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sputum pada trakea dan spame otot pernafasan, ditandai dengan ronchi, sianosis, dyspneu, batuk tidak efektif disertai dengan sputum dan atau lendir, hasil pemeriksaan lab, Analisa Gasa Darah abnormal (Asidosis Respiratorik).
Tujuan :
Jalan nafas efektif
Kriteria :
a.    Klien tidak sesak, lendir atau sleam tidak ada.
b.    Pernafasan 16-18 kali/menit.
c.    Tidak ada pernafasan cuping hidung.
d.    Tidak ada tambahan otot pernafasan.
e.    Hasil pemeriksaan laboratorium darah Analisa Gas Darah dalam batas normal (pH= 7,35-7,45 ; PCO2 = 35-45 mmHg, PO2 = 80-100 mmHg)

Intervensi dan Rasional
a.    Bebaskan jalan nafas dengan mengatur posisi kepala ekstensi.
Rasional :
Secara anatomi posisi kepala ekstensi merupakan cara untuk meluruskan rongga pernafasan sehingga proses respiransi tetap berjalan lancar dengan menyingkirkan pembuntuan jalan nafas.
b.    Pemeriksaan fisik dengan cara auskultasi mendengarkan suara nafas (adakah ronchi) tiap 2-4 jam sekali.
Rasional :
Ronchi menunjukkan adanya gangguan pernafasan akibat atas cairan atau sekret yang menutupi sebagian dari saluran pernafasan sehingga perlu dikeluarkan untuk mengoptimalkan jalan nafas.
c.    Bersihkan mulut dan saluran nafas dari sekret dan lendir dengan melakukan suction.
Rasional :
Suction merupakan tindakan bantuan untuk mengeluarkan sekret, sehingga mempermudah proses respirasi.
d.    Oksigenasi
Rasional :
Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan memberikan cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadinya hipoksia.
e.    Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam
Rasional :
Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul takikardia dan capilary refill time yang memanjang/lama.
f.     Observasi timbulnya gagal nafas.
Rasional :
Ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi yang kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mekanical ventilation).
g.    Kolaborasi dalam pemberian obat pengencer sekresi(mukolitik).
Rasional :
Obat mukolitik dapat mengencerkan sekret yang kental sehingga mempermudah pengeluaran dan memcegah kekentalan.
2.    Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot pernafasan, yang ditandai dengan kejang rangsanng, kontraksi otot-otot pernafasan, adanya lendir dan sekret yang menumpuk.
Tujuan :
Pola nafas teratur dan normal
Kriteria :
a.     Hi. poksemia teratasi, mengalami perbaikan pemenuhan kebutuahn oksigen.
b.     Tidak sesak, pernafasan normal 16-18 kali/menit.
c.      Tidak sianosis.
Intervensi dan raasional.
a.    Monitor irama pernafasan dan respirati rate.
Rasional :
Indikasi adanya penyimpangan atau kelaianan dari pernafasan dapat dilihat dari frekuensi, jenis pernafasan,kemampuan dan irama nafas.
b.    Atur posisi luruskan jalan nafas.
Rasional :
Jalan nafas yang longgar dan tidak ada sumbatan proses respirasi dapat berjalan dengan lancar.
c.    Observasi tanda dan gejala sianosis.
Rasional :
Sianosis merupakan salah satu tanda manifestasi ketidakadekuatan suply O2 pada jaringan tubuh perifer .
d.    Oksigenasi
Rasional :
Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan memberikan cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadinya hipoksia.
e.    Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam
Rasional :
Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul takikardia dan capilary refill time yang memanjang/lama.
f.     Observasi timbulnya gagal nafas.
Rasional :
Ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi yang kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mekanical ventilation).
g.    Kolaborasi dalam pemeriksaan analisa gas darah.
Rasional :
Kompensasi tubuh terhadap gangguan proses difusi dan perfusi jaringan dapat

3.    Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efeks toksin (bakterimia) yang dditandai dengan suhu tubuh 38-40 oC, hiperhidrasi, sel darah putih lebih dari 10.000 /mm3
Tujuan :
 Suhu tubuh normal
Kriteria :
36-37oC, hasil lab sel darah putih (leukosit) antara 5.000-10.000/mm3
a.     Atur suhu lingkungan yang nyaman
Rasional :
Iklim lingkungan dapat mempengaruhi kondisi dan suhu tubuh individu sebagai suatu proses adaptasi melalui proses evaporasi dan konveksi.Pantau suhu tubuh tiap 2 jam. Identifikasi perkembangan gejala-gejala ke arah syok exhaution.
b.     Berikan hidrasi atau minum ysng cukup adequate
Rasional :
Cairan-cairan membantu menyegarkan badan dan merupakan kompresi badan dari dalam.
c.      Lakukan tindakan teknik aseptik dan antiseptik pada perawatan luka.
Rasional :
Perawatan lukan mengeleminasi kemungkinan toksin yang masih berada disekitar luka.
d.     Berikan kompres dingin bila tidak terjadi ekternal rangsangan kejang.
Rasional :
Kompres dingin merupakan salah satu cara untuk menurunkan suhu tubuh dengan cara proses konduksi.
e.     Laksanakan program pengobatan antibiotik dan antipieretik.
Rasional :
Obat-obat antibakterial dapat mempunyai spektrum lluas untuk mengobati bakteria gram positif atau bakteria gram negatif. Antipieretik bekerja sebagai proses termoregulasi untuk mengantisipasi panas.
f.       Kolaboratif dalam pemeriksaan lab leukosit.
Rasional :
Hasil pemeriksaan leukosit yang meningkat lebih dari 10.000 /mm3 mengindikasikan adanya infeksi dan atau untuk mengikuti perkembangan pengobatan yang diprogramkan.
4.    Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot pengunyah yang ditandai dengan intake kurang, makan dan minuman yang masuk lewat mulut kembali lagi dapat melalui hidung dan berat badan menurun ddiserta hasil pemeriksaan protein atau albumin kurang dari 3,5 mg%.
Tujuan :
 kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Kriteria :
a.    BB optimal
b.    Intake adekuat
c.    Hasil pemeriksaan albumin 3,5-5 mg %
Intervensi dan rasional :
a.    Jelaskan faktor yang mempengaruhi kesulitan dalam makan dan pentingnya makanan bagi tubuh.
Rasional :
Dampak dari tetanus adalah adanya kekakuan dari otot pengunyah sehingga klien mengalami kesulitan menelan dan kadang timbul refflek balik atau kesedak. Dengan tingkat pengetahuan yang adequat diharapkan klien dapat berpartsipatif dan kooperatif dalam program diit.
1. Kolaboratif :
a.    Pemberian diit TKTP cair, lunak atau bubur kasar.
Rasional :
Diit yang diberikan sesuai dengan keadaan klien dari tingkat membuka mulut dan proses mengunyah.
b.    Pemberian carian per IV line.
Rasional :
Pemberian cairan perinfus diberikan pada klien dengan ketidakmampuan mengunyak atau tidak bisa makan lewat mulut sehingga kebutuhan nutrisi terpenuhi.
c.    Pemasangan NGT bila perlu
Rasional :
NGT dapat berfungsi sebagai masuknya makanan juga untuk memberikan obat.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi:
1.    Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat luka.
2.    Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap.
3.    Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan otot perut (opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan.
4.    Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek.
5.    Kejang umum episodik dicetusklan dengan rangsang minimal maupun spontan dimana kesadaran tetap baik.

A. Temuan laboratorium :
o    Lekositosis ringan.
o    Trombosit sedikit meningkat.
o    Glukosa dan kalsium darah normal.
o    Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat.
o    Enzim otot serum mungkin meningkat.
o    EKG dan EEG biasanya normal.
o    Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka dapat membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram positif berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan.
o    Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)
2.7.    Komplikasi Tetanus
•    Spasme otot faring yang menyebabkan terkumpulnya air didalam rongga mulut dan keadaan ini memungkinkan terjadinya aspirasi serta dapat menyebabkan pneumonia aspirasi.
•    Asfiksia
•     Atelektasis karena obstruksi secret.
•    Fraktur Kompresi.

2.8.    Asuhan Keperawatan Anak Dengan Tetanus
2.8.1.    Diagnosa Keperawatan,Tujuan,Kriteria Hasil,dan Rencana Intervensi Tetanus
2.8.2.    Perencanaan Pemulangan
1.    Jelaskan proses penyakit dengan menggunakan gambar-gambar atau phantom.
2.    Fokuskan pada perawatan mandiri di rumah.
3.    Hindari faktor pemicu; kebersihan lantai rumah, debu-debu, karpet, bulu binatang dan lainnya.
4.    Jelaskan tanda-tanda bahaya akan muncul.
5.    Ajarkan penggunaan nebulizer.
6.    Keluarga perlu memahami tentang pengobatan; nama obat, dosis, efek samping, waktu pemberian.
7.    Ajarkan strategi kontrol kecemasan, takut dan stress.
8.    Jelaskan pentingnya istirahat dan latihan, termasuk latihan nafas.
9.    Jelaskan pentingnya intake cairan dan nutrisi yang adekuat.


BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
Tetanus (rahang terkunci [lockjaw]) adalah penyakit akut, paralitik yang disebabkan oleh tetanospasmin, neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot spasme tanpa disertai gangguan kesadaran. Gambaran penyakit ini berupa : trismus (kaku pada rahang~sulit membuka rahang bawah), rhesus sardonicus (muka seperti monyet meringis), kaku kuduk (leher kaku, tidak bisa untuk mengangguk), opistotonus (badan kaku seperti busur), kaku perut, kejang, dan kemungkinan adanya luka sebagai tempat masuknya kuman. Penyakit tetanus biasanya timbul di daerah yang mudah terkontaminasi dengan tanah dan dengan kebersihan dan perawatan luka yang buruk.
          Pengobatannya dengan merawat pasien di ruang yang tenang, kemudian diberikan Anti Tetanus Serum (ATS) sesuai berat badannya secara intravena dan sisanya intramuscular. Kejang diatasi dengan pemberian anti kejang (misal diazepam) secara intravena. Juga diberikan antibiotika. Perawatan pasien ini mungkin melibatkan berbagai bidang kedokteran, misalnya penyakit dalam, bedah, gigi, dan THT.

3.2    Saran
Jangan sepelekan luka kecil di tubuh Anda, terutama di bagian kaki atau tangan yang mudah terkena kotoran seperti debu atau tanah. Luka kecil ini bisa menjadi pemicu tetanus, penyakit yang sudah jarang terjadi tapi cukup mematikan. Tetanus merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Bakteri ini akan memproduksi racun yang menyebabkan kejang otot kronis. Tetanus ini sangat berbahaya tapi mudah diatasi jika Anda teliti dan bertindak cepat.
Penulis berharap mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya serta buku ini dapat menjadi referensi untuk pembuatan makalah selanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan di komen yah.....